Abdurrahman
al Akhdhari menulis dalam Nazhm Sullam al Munawwaraq-nya, “Fungsi
manthiq bagi akal sama halnya dengan fungsi nahwu bagi lisan. Manthiq
berfungsi memelihara akal dari kesalahan-kesalahan berfikir dan menyingkap
kandungan-kandungan ucapan yang sulit difahami. Karena itu pelajarilah
dasar-dasar dan kaidah-kaidahnya”.
Mengacu
pada ungkapan Akhdhari, dengan demikian Manthiq dapat didefinisikan “Ilmu yang
mempelajari dasar-dasar dan kaidah-kaidah yang berfungsi untuk menjaga akal
dari kesalahan-kesalahan berfikir.” Sedangkan kata “manthiq” sendiri dalam
bahasa arab berasal dari kata “nathaqa” yang berarti “ucapan”. Memang
benar, ilmu manthiq muaranya adalah dapat membedakan mana ucapan yang benar dan
mana ucapan yang salah.
Sedangkan kata “logika” pertama kali
digunakan oleh Zeno dari Citium. Kali ini harus diakui, bahwa Manthiq merupakan
pengetahuan yang berasal dari Yunani bukan berasal dari Islam ataupun arab.
Harus dicatat di sini, bahwa Kaum Sofis, Socrates, dan Platolah yang menjadi
perintis lahirnya Logika. Baru kemudian atas jasa Aristoteles, Theopratus, dan
Kaum Stoa, Logika lahir sebagi ilmu, dalam arti hukum-hukum dan kaidah-kaidah
telah tersusun.
Sejarah masuknya ilmu Manthiq ke dalam
Islam dapat dilacak pada abad ke II Hijriah seiring dengan penerjemahan
besar-besaran karya-karya para pemikir Yunani. Logika menjadi bagian yang amat
menarik perhatian kaum muslimin waktu itu. Selanjutnya logika dipelajari secara
meriah di kalangan luas.
Di kala logika tengah menjadi santapan
favorit kaum muslimin, tiba-tiba muncul fatwa dari An Nawawi dan Ibn As Shalah
yang menyatakan haram mempelajari logika sampai mendalam, karena dapat
membahayakan akidah. Fatwa An Nawawi dan Ibn As Shalah ini sempat membuat perjalanan
logika dalam Islam sedikit terhenti. Namun, angin segar kembali menerpa logika
tatkala Hujjatul Islam, Imam Al Ghazali menganjurkan dan menganggap baik
mempelajari logika. Untuk ini bahkan Al Ghazali sampai mengatakan “Barang siapa
yang tidak mengerti ilmu manthiq, maka belum dapat diterima kadar keilmuannya,
karena ia tidak dapat membedakan mana pengetahuan yang benar dan mana
pengetahuan yang salah”.
Sebagai sintesa dari dua pendapat ini,
versi populer dan sahih mengatakan, kebolehan mempelajari Ilmu Manthiq hanya
bagi orang yang cukup akalnya dan kokoh imannya.
Sebagaimana disinggung di atas, fungsi logika adalah
memelihara akal dari kesalahan berpikir. Jika diibaratkan logika ibarat
Polantas yang menjaga lalulintas berpikir agar tetap berada pada jalurnya yang
benar. Kita sering mendengar orang mengatakan, “Menurut saya, pendapat Mas
Jujur itulah yang benar”. Kita sering mangatakan, “pendapat saya ini, benar,
perbuatan saya ini, benar”. Sebenarnya, apakah yang dimaksud dengan “benar”
itu?
Benar pada hakikatnya adalah kesamaan atau persesuaian
antara pikiran dan kenyataan yang sebenarnya. Kenyataan disini digolongkan
menjadi dua, yakni kenyataan logis (nazhariyah) dan kenyataan empiris (dharuriyah).
Kenyataan logis dirujukkan pada sebuah kenyataan yang
dihasilkan oleh penalaran. Hal ini dapat ditemukan dalam pernyataan seperti,
“Alam semesta adalah sesuatu yang baru”. Kebenaran akan pernyataan ini dapat
dibuktikan dengan argumen (dalil), “Alam semesta dikatakan baru karena ia
mengalami perubahan, sedangkan setiap yang berubah itu dinamakan baru (huduts).”
Inilah yang di maksud dengan kenyataan logis.
Berbeda dengan kenyataan logis, kebenaran akan
kenyatakan empiris dapat diketahui dengan bukti-bukti lapangan. Sepertinya, di
dunia ini tidak ada seorang pun yang membantah ucapan Anda tentang “batu itu
lebih berat daripada kapas”, sebab pernyataan Anda itu dapat dibuktikan di
lapangan. Apa yang Anda ucapkan tadi, itulah yang dinamakan kenyataan empiris.
Berpikir dapat disebut sebagai
aktifitas nalar dalam menelusuri sesuatu. Dalam upaya menelusuri sesuatu itu
tentunya ada beberapa asas yang menjadi patokan agar hasil pemikiran itu bisa
disebut benar. Karena, benar dan salahnya hasil pemikiran bergantung pada
terlaksana atau tidaknya patokan-patokan tersebut. Tiga asas itu ialah:
Asas identitas (pincipium
identitatis = qanun dzatiyah). Prinsip ini mengatakan, bahwa sesuatu itu
adalah sesuatu itu sendiri, bukan yang lainnya. Jika kita mengatakan sesuatu
itu adalah A, maka dia adalah A, bukan B, C, atau D. Hal ini bisa dicontohkan
melalui, jika kita mengatakan bahwa bumi itu bulat, maka tidak mungkin
bahwa bumi itu kotak, silinder atau lainnya.
Asas Kontradiksi (pricipium
contradiktoris = qanun tanaqud). Asas ini menjelaskan, jika kita mengakui
bahwa sesuatu itu bukan A, maka tidak mungkin pada saat itu ia adalah A, sebab
realitas itu hanya satu sebagaimana disebut asas identitas. Jika kita
mengatakan bahwa benda dihadapan kita saat itu adalah bukan meja, maka tidak
mungkin pada saat itu dia adalah meja.
Asas Penolakan Kemungkinan Ketiga (principium
exclusi tertii = qanun imtina’). Prinsip ini mengatakan, antara pengakuan
dan pengingkaran kebenarannya terletak pada salah satunya, tidak mungkin benar
keduanya. Pinsip ini dapat dicontohkan melalui, setiap benda kalau tidak
bergerak pasti diam, tidak mungkin dia bergerak dan diam disaat bersamaan.
Demikianlah tiga asas dalam berpikir.
Dan sebagaimana disiplin ilmu yang penuh dengan istilah-istilah yang rumit dan
rumus-rumus yang njlimet, seperti halnya Fara’id, mata pelajaran
Manthiq begitu sedikit peminatnya di pesantren. Padahal dengan memahami ilmu
ini, seperti kata Al Ghazali, kita dapat mengetahui mana hasil pemikiran yang
benar dan mana hasil pemikiran yang salah. Karena kita seringkali terjebak pada
jurang kesalahan manakala mengambil kesimpulan atau keputusan. Kalau boleh
menyebut, Ilmu manthiq di pesantren ibarat mutiara yang terlupakan.
Salah satu manfaat
nyata Ilmu Manthiq ialah dapat kita gunakan untuk menghadapi arus besar
pemikiran Islam Liberal, karena seringkali –setelah melalui penelitian-
penyimpulan yang diambil oleh kelompok ini tidak sesuai dengan kaidah-kaidah
logika. Wallahu a’lam.
Sumber: Mading Hidayah
Posting Komentar